Pandemi COVID-19
Pada akhir tahun 2019, dunia digemparkan oleh munculnya pandemi baru yang dikenal dengan sebutan Pandemi COVID-19. Pandemi ini disebabkan oleh virus korona jenis baru, yaitu Sars-CoV-2 yang pertama kali dikonfirmasi di Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019. Virus ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyebaran virus dapat melalui droplet atau percikan liur saat seseorang sedang batuk, bersin, bahkan berbicara. Barang-barang yang terkena droplet juga dapat membantu penyebaran dari COVID-19 jika seseorang tidak sengaja menyentuh barang tersebut lalu memegang hidung dan mata. Transmisi virus yang mudah menyebabkan banyak kasus yang terjadi.Dilansir dari laman covid.go.id, per 15 April 2021 tercatat sebanyak 1,58 juta kasus yang terkonfirmasi positif dengan pasien sembuh sebesar 1,43 juta jiwa dan pasien meninggal sebesar 42.906 jiwa di Indonesia. Tingginya angka terkonfirmasi positif ini menunjukkan bahwa perlunya regulasi untuk pencegahan penyebaran virus lebih luas lagi.
Pemerintah Indonesia telah melakukan pencegahan terhadap penyebaran COVID-19 dengan menerapkan protokol kesehatan. Masyarakat diimbau untuk menerapkan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Selain itu, beberapa sektor menerapkan kebijakan Working From Home (WFH) seperti pendidikan dan perkantoran. Hal ini diharapkan dapat menghambat transmisi dari virus dan mengurangi tingkat penyebaran di masyarakat.
ODHA, Stres, dan Kecemasan
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Virus HIV dapat menular melalui beberapa cara seperti hubungan seks, transfusi darah, jarum suntik yang terinfeksi HIV, dan ASI. HIV/AIDS memengaruhi manusia secara fisiologis dan psikologis. Secara fisiologis, HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga memudahkan berbagai macam penyakit masuk ke tubuh penderita AIDS. Terdapat beberapa ciri atau gejala fisik dari ODHA seperti ruam kulit, sakit kepala, diare, nyeri otot, kelelahan berlebihan, nyeri pada kelenjar getah bening dan otot. Secara psikologis, seseorang yang merupakan ODHA rentan mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi yang dipengaruhi oleh stigma-stigma buruk dari masyarakat dan keadaan fisiknya.
Stigma masyarakat terhadap ODHA adalah mereka dapat tertular virus HIV jika berdekatan langsung dengan ODHA dan pikiran mereka bahwa HIV/AIDS itu hal yang dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan. Stigma-stigma tersebut menyebabkan masyarakat awam menjauhi ODHA bahkan melakukan diskriminasi dan pengucilan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susan, dkk. (2012), stigma yang berkaitan dengan HIV/AIDS merupakan tantangan psikologis bagi para penyintasnya (dalam Pardita, 2014).
Penyakit AIDS yang progresif dan sebagian besar berakhir dengan kematian, serangan stigma masyarakat, dan diskriminasi terhadap ODHA dapat menimbulkan stres dan kecemasan. Stres merupakan suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologi (Chaplin, dalam Istifadah, 2014), sedangkan kecemasan adalah keadaan emosi suatu keadaan khawatir dengan mengeluhkan sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ethel, dkk. (2016) dengan menggunakan Zung Self-Rating Anxiety Scale (ZSAS) menunjukkan bahwaprevalensi gangguan kecemasan sebesar 16% pada pasien HIV/AIDS. Lalu, penelitian yang dilakukan oleh Carter menunjukkan bahwa sebagian besar ODHA, yaitu sebesar 72% mengalami stres dan depresi (dalam Girianto dan Wiwik, 2017). Hal ini membuktikan bahwa ODHA rentan mengalami stres dan kecemasan.
Coping Stress ODHA di Masa Pandemi
Seluruh lini masyarakat terkena dampak dari pandemi COVID-19, termasuk orang dengan HIV/AIDS atau yang kita kenal sebagai ODHA. Salah satu dampak psikologis yang dirasakan oleh ODHA adalah stres dan kecemasan. Pada masa pandemi, penderita HIV/AIDS mengalami stres dan kecemasan akan tertular oleh virus korona mengingat mereka memiliki kekebalan tubuh yang lemah. Selain itu, menurunnya perekonomian juga menjadi pemicu stres karena pendapatan yang mereka gunakan untuk membiayai pengobatan ikut menurun. Namun, terdapat beberapa cara untuk menanggulangi stres bagi ODHA di masa pandemi dengan melakukan beberapa coping stress.
Coping stress adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi stres secara aktif. Coping stress memiliki dua bentuk, yaitu Emotional Focused Coping dan Problem Focused Coping. Emotional focused coping merupakan usaha seseorang untuk keluar dari stres dengan cara keluar dari penyebab stres, contohnya adalah menjaga jarak dari penyebab stres, mencari aktivitas yang dapat mengalihkan pikiran dari sumber penyebab stres, dan melakukan self-healing. Lalu, problem focused coping merupakan usaha seseorang untuk keluar dari stres dengan cara menyelesaikan permasalahannya. Misalnya, seseorang yang mengalami konflik dengan temannya, langsung menyelesaikan masalah dengan cara bicara baik-baik.
Pada masa pandemi ini, masyarakat termasuk ODHA membutuhkan strategi untuk mengatasi stres dan kecemasan. Beberapa strategi coping stress yang dapat dilakukan oleh para ODHA adalah melakukan hobi, olahraga, self-healing, menerapkan sikap optimis, melakukan penerimaan diri, dan mencari dukungan sosial.
Self-healing merupakan sebuah proses penyembuhan diri dari trauma atau tekanan psikologis yang mengganggu seseorang dalam menjalani kehidupannya (Dewi & Widayanti, 2020). Self-healing bermanfaat untuk mengurangi stres, kecemasan, dan masalah emosional lainnya. Beberapa contoh dari self-healingyang dapat diterapkan selama pandemi ini adalah: (1)self-talk, metode ini dilakukan dengan cara berdialog dengan diri sendiri yang berguna untuk membantu diri untuk sadar, berpikir, dan merasakan emosi yang sedang dialami; (2) batasi penggunaan media informasi tentang pandemi, hal ini bermanfaat untuk mencegah kecemasan dari berita-berita negatif mengenai pandemi COVID-19; (3) emotional grounding, yang merupakan salah satu teknik untuk membantu memfokuskan pikiran dengan cara menarik nafas dalam, berjalan keliling, menganalisis lingkungan sekitar, melakukan hal yang disukai, dan mendengarkan suara yang menyenangkan; (4) deep breathing,teknik ini bermanfaat untuk meredakan tekanan emosional dan perasaan negatif serta melepas ketegangan ketika takut, stres, dan gugup. Teknik ini dilakukan dengan cara menarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik dan didorong ke perut, tulang rusuk, dan dada. Lalu, rasakan apabila tubuh dipenuhi udara, tahan selama 4 detik, dan buang napas selama 4 detik melalui mulut;dan(5) psychological first aid, dilakukan oleh seseorang yang mampu dalam PFA yang bertujuan untuk menormalkan rasa khawatir, stres, dan cemas bagi yang membutuhkan (Dewi & Widayanti, 2020).
Selain self-healing, dukungan sosial juga terbukti efektif dalam strategi coping stress. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Wardani (2017) dengan menggunakan Medical Outcomes Sosial Support Survey HIVdan Perceives Stress Scale HIVyang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan tingkat stres dari ODHA. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial yang didapatkan ODHA, semakin kecil tingkat stres yang dialaminya. Dukungan sosial dapat diperoleh melalui keluarga terdekat, teman sebaya, dan masyarakat sekitar. Namun, mengingat kondisi pandemi tidak memungkinkan masyarakat untuk bertemu tatap muka, maka dukungan sosial bisa diperoleh melalui media sosial atau komunikasi secara daring bersama teman-teman atau kerabat terdekat.
Judul Oleh : Putri Ayu Tarra Afdhila
SUMBER
Dewi, K. & Widayanti, C. (2020). Modul Self-Healing: Strategi Menjaga Kesehatan Mental di Masa Pandemi COVID-19. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. ISBN: 978-623-94100-3-2.
Ethel, R., Sarjana, W., & Sufro, M. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 5(4), 1623-1633. Diakses dari http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico.
Girianto, P. & Wiwik. (2017). Hubungan Dukungan Psikososial Keluarga dengan Tingkat Stres Pasien HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 3(1), 16-22. Diakes dari https://doi.org/10.36053/mesencephalon.v3i1.29.
Hidayanti, Erna. (2013). Strategi Coping Stress Perempuan dengan HIV/AIDS. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 9(1). doi: 10.21580/sa.v9i1.667. Diakses dari https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/667.
Istifadah, Rina. (2014).Coping stres ODHA (Orang dengan HIV/AIDS): Studi kasus pada ODHA yang telah meninggalkan perilaku beresikonya. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Diakses dari http://etheses.uin-malang.ac.id/610/.
Noya, Allert B. (13 September 2018). Tidak Ada yang Menduga Ternyata Ini Gejala Awal HIV. Alodokter. Diakses pada 15 April 2020 melalui https://www.alodokter.com/tidak-ada-yang-menduga-ternyata-ini-gejala-awal-hiv.
Pardita, Dewa P. (2014). Analisis Dampak Sosial, Ekonomi, dan PsikologisPenderita HIV AIDS di Kota Denpasar. Jurnal Buletin Studi Ekonomi, 19(2), 193-199. Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/bse/article/view/18814
Sari, Y. & Wardani, I. (2017). Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orang Dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Indonesia, 20(2), 85-93. Diakses dari https://doi.org/10.7454/jki.v20i2.361.